Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tragedi Gugurnya Kabinda Papua

velox
Foto: Prof. Tjipta Lesmana

KARAWANGPORTAL - Jakarta Kepala BIN daerah (Kabinda) Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha gugur usai kontak tembak dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Beoga, Kabupaten Puncak, Papua. Pihak BIN maupun Kodam XII Cendrawasih tidak memberikan keterangan rinci bagaimana kontak senjata terjadi yang menewaskan Kabinda yang berasal dari korps Kopassus. Deputi VII BIN, Wawan Hari Purwanto, dalam keterangannya, Senin 26 April yang lalu hanya menjelaskan Kabinda Papua dan rombongan pukul 15:50 WIT tengah dalam perjalanan menuju Desa Dambet; tiba-tiba rombongan dihadang oleh kelompok KKB, terjadilah tembak-menembak di sekitar gereja Desa Dambet, Beoga. Brigjen Putu gugur ditembak bagian kepalanya.

Setiap kali terjadi insiden berdarah yang menewaskan personil TNI, Polri atau rakyat sipil di Papua, para petinggi politik, keamanan dan intelijen di Jakarta dengan cepat menggelar rapat koordinasi, membahas insiden itu dan mengeluarkan pernyataan sambil memerintahkan petinggi terkait untuk melakukan tindakan keras terhadap para pemberontak itu. Kantor KSP pimpinan Moeldoko menggelar rapat, Kantor Menko Polhukam pimpinan Mahfud MD juga rapat. Lalu, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan keras: memerintahkan Panglima TNI dan Kapolri untuk mengejar dan menangkap para anggota KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) bukan hanya di Papua, tapi di seluruh Tanah Air.

3 hari setelah insiden tembak-menembak antara kelompok KKB dan rombongan Kabinda Papua, Satuan Tugas Nemangkawi dikabarkan berhasil menewaskan 9 anggota KKB dalam operasi mengejar KKB. Ratusan pasukan dari Kodam Brawijaya diterjunkan ke Papua untuk mengejar para pemberontak KKB.

Pertanyaan menarik untuk diketahui: Ketika terjadi insiden tembak-menembak, apa tugas yang sedang diemban oleh Kabinda dan anak-buahnya? Apakah sedang melakukan operasi intelijen untuk menghimpun informasi tentang kegiatan KKB di Beoga atau operasi tempur? Undang-Undang UU 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara menyebutkan Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai "alat negara ....... yang tujuannya adalah mendeteksi, mengidentifikasi, menilai, menganalisis, menafsirkan, dan menyajikan intelijen dalam rangka memberikan peringatan dini untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan bentuk dan sifat ancaman yang potensial dan nyata terhadap keselamatan dan eksistensi bangsa dan negara serta peluang yang ada bagi kepentingan dan keamanan nasional."

Pasal 29 UU tsb. menetapkan tugas BIN (a) melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang intelijen; (b) menyampaikan produk intelijen sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kebijakan pemerintah (c) melakukan perencanaan dan pelaksanaan aktivitas intelijen; (d) membuat rekomendasi yang berkaitan dengan orang dan/atau lembaga asing dan (e) memberikan pertimbangan, saran, dan rekomendasi tentang pengamanan penyelenggaraan pemerintahan.

Jelas sekali, tugas BIN bersifat nasional, ada di level kebijakan (intelijen), melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan di bidang intelijen, menyampaikan produk, sekaligus saran dan pertimbangan untuk mendukung kebijakan pemerintah. Dengan demikian, tugas BIN tidak pada level operasional (dalam arti intelijen militer/tempur).

Berbeda sekali dengan tugas pokok intelijen TNI. Intelijen militer merupakan bagian dari TNI yang fokus aktivitasnya mengumpulkan, menganalisis, melindungi dan penyebaran informasi mengenai musuh, wilayah dan cuaca di wilayah operasi. Intelijen TNI umumnya bersifat tempur, dilaksanakan dalam berbagai tingkat dari taktik sampai strategi, selama waktu damai atau perang.

Perbedaan lain antara BIN dan BAIS: Kepala BIN melaporkan kegiatannya langsung kepada Presiden R.I., sedang Kepala BAIS melapor ke Panglima TNI sebagai user. Namun, dalam kegiatan pemerintahan sehari-hari, Presiden kerapkali juga minta masukan dan saran pada Panglima TNI. Pimpinan tertinggi TNI dianggap mengetahui segala apa yang terjadi di Tanah Air.

Tugas pokok lain dari BIN adalah koordinasi semua aparat intelijen di negara kita. Maka, tiap minggu di kantor BIN digelar rapat koordinasi komunitas intelijen, mulai intelijen TNI (Bais), intelijen Polri, Kejaksaan Agung, Bea Cukai, Imigrasi dll. Rapat biasanya dipimpin oleh Wakil Kepala BIN atau salah satu Deputi Kepala BIN. Dalam rapat koordinasi itulah, kegiatan dan operasi intelijen yang dilakukan berbagai instansi intelijen dibahas dan disinkronisasi agar tidak terjadi tumpang-tindih atau benturan.

Pertanyaan kritis yang harus dicari jawabannya oleh para petinggi di Polhukam dan KSP: Apakah ketika melaksanakan tugas di Desa Beoga, Papua Puncak, Kabinda Papua atau anak-buahnya sebelumnya menghubungi dan meminta masukan dari personel BAIS, Kodam bahkan Koramil setempat setempat ? Apakah sudah diadakan operasi intelijen sebelumnya (oleh intelijen TNI khususnya) untuk mengetahui situasi keamanan, sekaligus kekuatan bersenjata para pemberontak KKB di sana ? Kenapa rombongan Kabinda, seorang Brigadir Jenderal TNI dari korps Kopassus, mendadak bisa disergap dan diberondong pasukan KKB yang kemudian menewaskannya? Ada kesan operasi intelijen yang dilakukan Kabinda dan anak-buahnya tidak "well-prepared", tidak dipersiapkan sebelumnya secara rapi!

Dari insiden berdarah di desa Beoga, Kabupaten Papua Puncak, yang menewaskan parwira tinggi TNI dengan karier cemerlang dan seorang anggota Polri, mungkin perlu ada langkah-langkah dari Presiden untuk segera mengevaluasi kinerja BIN, termasuk pimpinannya, serta mengembalikan BIN pada domain kebijakan dan koordinator intelijen di daerah, pusat serta luar negeri, karena keberadaan setiap agen BIN yang bertugas di dalam dan luar negeri bukan dirancang untuk tugas-tugas intelijen tempur yang menjadi domain (intelijen) TNI.

BIN era pemerintahan Jokowi jauh sekali "kualitas" dan "kinerjanya" dibandingkan BIN era Hendropriyono. Ketika itu agen-agen BIN super-aktif mengejar dan menangkap para gembong teroris di Tanah Air. Di hampir semua serangan bom teroris ketika itu, Bom I dan II Bali, Bom di kedutaan Australia, kediaman Duta Besar Filipina, Hotel Marriots, Gereja Katedral Jakarta dan lain-lain, "tangan-tangan Hendero" selalu bekerja. Bahkan Hendropriyono pula yang berhasil mendapatkan dokumen super-rahasia tentang hadirnya orang-orang Indonesia di Afghanistan untuk mendapatkan latihan militer. 

Para "alumni Afghanistan" ini pula yang kemudian balik ke Indonesia untuk melancarkan serangan-serangan bom berikutnya. Penangkapan Hambali yang lama dicari-cari oleh CIA juga prestasi luar biasa Hendro selaku Kabin ketika itu. (baca buku Ken Conboy, INTEL. Inside Indonesia's Intelligence Service, 2004).

Di bawah kepemimpinan Budi Gunawan, BIN nyaris kehilangan taringnya. Aktivitas BIN kadang malah aneh-aneh. Upayanya membantu pemerintah menangani pandemi Covid-19 terkesan mengada-ada. Yang tidak kalah mengejutkan adalah pembentukan Pasukan Rajawali yang mendapat kecaman dari berbagai pihak, khususnya dari para senior TNI. Apakah BIN hendak membentuk Angkatan ke-5 seperti yang nyaris terbentuk menjelang akhir pemerintahan Soekarno ? Pembentukan Pasukan Rajawali sekaligus mengindikasikan ketidak-pahaman pimpinan BIN tentang tupoksi BIN: BIN bukan di ranah intelijen tempur yang membutuhkan pasukan elite ala Kopassus serta alutsista canggih!

Tupoksi BIN melakukan "operasi senyap" sehingga dalam bertugas tidak boleh keluar dari kaedah clandestine, yaitu melakukan hubungan yang terputus dan terpisah (kompartementasi). Manakala seorang User (mungkin) abai dan lepas kendali terhadap seorang Kabinda sebagai unsur yang tertutup, maka otomatis unsur tertutup tsb. dengan unsur terbuka (Satgas Ter, termasuk Koramil) berbaur serta akan menjadi terbuka atau/bocor. Konsekuensinya operasi intelijen diketahui oleh pihak lawan (OPM/KKB).

Prof Tjipta Lesmana

Ex. Dir. Pelaksana Strategic Intelligence Studies