Operasi Intelijen di Papua
Direktur The Indonesia Intelligence Institute Ridlwan Habib (Foto: dok. pribadi) |
VELOX - Jakarta, Artikel Prof Tjipta Lesmana berjudul Tragedi Gugurnya Kabinda Papua (detikcom,
3/5) menarik untuk ditanggapi. Prof Tjipta yang seorang ahli ilmu
komunikasi menyoroti gugurnya Kabinda Papua Mayjen (anumerta) I Gusti
Putu Dany Karya Nugraha dalam kontak tembak dengan para Kelompok
Kriminal Bersenjata (KKB) di Kabupaten Beoga, Papua.
Dalam
artikel tersebut, Tjipta mengkritisi beberapa fungsi koordinasi dan
komunikasi dari Badan Intelijen Negara. Setidaknya ada dua argumentasi
utama Tjipta terkait peristiwa nahas tersebut. Pertama, mempertanyakan
tentang apa tujuan dan kepentingan kabinda di lokasi distrik Beoga.
Kedua, mempertanyakan fungsi BIN secara umum, termasuk menyoroti kiprah
intelijen dalam penanganan pandemi Covid-19.
Jika kita teliti
membaca UU 17 Tahun 2011 Tentang Intelijen Negara, tepatnya Pasal 6 ayat
(1) dan ayat (3) sudah jelas tertulis bahwa tugas dari BIN selaku alat
negara termasuk dalam hal pengamanan. Penjelasan detail yang dimaksud
dengan pengamanan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan secara
terencana dan terarah untuk mencegah dan/atau melawan upaya, pekerjaan,
kegiatan intelijen, dan/atau pihak lawan yang merugikan kepentingan dan
keamanan nasional.
Karena itu, justru yang dilakukan Kabinda
Papua sedang melaksanakan amanat undang-undang. Kehadiran Kabinda ke
dalam lokasi panas (hotzone) menunjukkan bahwa intelijen sangat serius menghadapi ancaman KKB di tanah Papua.
Penyelenggaraan fungsi intelijen sangat beragam bentuknya. Kegiatan seperti pengintaian, pejejakan, pengawasan, penyusupan (surreptitious entry),
penyadapan, pencegahan, dan penangkalan dini serta propaganda dan
perang urat syaraf dibolehkan sesuai UU 17 tahun 2011. Maka, wajar jika
Presiden sebagai user (pengguna) utama BIN menganugerahi
kenaikan pangkat anumerta bagi Mayjen IGP Dany Karya Nugraha karena
pengabdian tugasnya harus ditebus dengan nyawa.
Tindakan KKB
yang begitu biadab dengan membunuhi guru sekolah, tukang ojek, dan warga
sipil direspons dengan sangat serius oleh BIN sebagai garda depan
keamanan nasional (first line of defense) di tanah Papua.
Kehadiran Kabinda juga tidak tangan kosong; mereka dilengkapi dengan
senjata lengkap dan kewaspadaan tinggi. Bahwa, ternyata di lokasi
terjadi kontak tembak dan berujung kematian, memang itulah risiko tugas.
Meninggal dalam tugas, apalagi bagi Korps Baret Merah (almarhum
adalah perwira tinggi Kopassus) adalah sebuah cita-cita dan kebanggaan
tertinggi.
Terkait dengan fungsi koordinasi, kredo utama
intelijen adalah senyap (rahasia) dan kompartementasi (masing-masing
tidak mengetahui tugas yang lain). Ini penting agar sebuah operasi
intelijen tidak bocor dan berakibat fatal. Usulan Prof Tjipta agar
intelijen berkoordinasi dulu sebelum melakukan tugas itu justru sangat
bertolak belakang dengan cara kerja intel dan menyalahi filosofi
intelijen yang bergerak bagaikan angin, menyusup bagakan aliran air.
Poin
kedua yang dipertanyakan Prof Tjipta adalah bahwa fungsi dan pergerakan
BIN dianggap justru berkutat dengan hal-hal yang jauh dari apa yang
seharusnya dikerjakan oleh suatu badan intelijen. Pak Tjip membandingkan
dengan BIN era Hendropriyono. BIN era Hendro, menurut Pak Tjip,
menorehkan sejumlah prestasi mentereng, utamanya tentang pengungkapan
tokoh-tokoh terorisme yang kala itu sedang sangat marak.
Dalam hal ini, Prof Tjipta tidak menjelaskan secara baik apa yang dimaksud dengan ancaman nasional (national threat).
Dalam
dunia intelijen, permasalahan yang dihadapi itu kompleks dan dinamis.
Tentu menjadi bias jika sebuah kepemimpinan badan intelijen
diperbandingkan berdasarkan tahun jabatan, karena ancaman yang dihadapi
sangat berbeda. BIN di era Hendropriyono menghadapi ancaman nasional
berupa maraknya aksi terorisme imbas dari kebangkita Al Qaeda yang
dipimpin Osama bin Laden. Sedangkan BIN di era Budi Gunawan juga
menghadai berbagai ancaman yang berbeda.
Dalam dunia terorisme, BIN di era Budi Gunawan menghadapi situasi cyber terrorism dan lone wolf terrorism
yang lebih kompleks. Penangkapan 285 tersangka teroris sejak awal
Januari 2021 hingga sekarang tentu juga ada peran intelijen di balik
itu. Operasi penggalangan mantan mantan napi terorisme juga dilakukan
BIN era Budi Gunawan. Pada kanal Youtube resmi BIN misalnya tampak jelas
aktivitas itu dipublikasikan agar mendapat dukungan dari masyarakat.
Terkait
dengan penanganan Covid-19 oleh BIN sebenarnya juga sangat lugas jika
Prof Tjipta membaca runut UU 17 tentang Inteljen Negara. Pada pasal 30
huruf (d) disebutkan bahwa "BIN memiliki wewenang untuk membentuk satuan
tugas." Satuan tugas apa? Ini tentu berkaitan dengan tugas dari BIN
yang diamanatkan oleh UU 17/2011. Dalam Pasal 1 tentang Ketentuan Umum,
BIN adalah alat negara yang berfungsi untuk mendeteksi, mencegah,
menangkal dan menanggulangi setiap ancaman terhadap keamanan nasional.
Pandemi
Covid-19 saat ini merupakan ancaman utama terhadap stabilitas politik,
ekonomi dan sosial negara. Gara gara pandemi, ekonomi terpengaruh pun
juga situasi keamanan nasional. Maka, sungguh wajar jika BIN membuat
Satgas untuk ikut membantu Presiden menangani ancaman nasional tersebut.
BIN justru responsif dan dinamis dalam merespons ancaman terkini.
Pada
akhirnya, seorang intelijen terkenal dengan kredo berhasil tidak
dipuji, gagal dicaci maki, hilang tidak dicari dan mati tidak diakui.
Berbagai keberhasilan operasi intelijen memang tidak semuanya bisa
dipublikasikan secara terbuka. Mengukur kinerja intelijen menggunakan
metode ilmu komunikasi publik tentu kurang prasojo dan berakibat kaburnya esensi.
Ridlwan Habib, Msi alumni S2 Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, Direktur The Indonesia Intelligence Institute