Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Bioterrorism Sebagai Strategi Baru Dalam Aksi Terorisme

velox
Ilustrasi Bioterrorism Sebagai Strategi Baru Dalam Aksi Terorisme

 

Oleh: Elfina Ainnur Rachma., S.IP., M.Han.

1. Pendahuluan

Kegiatan terorisme merupakan ancaman aktual tidak hanya bagi negara Indonesia namun juga bagi dunia internasional. Terorisme bukan hanya sebagai metode perang (method of combat) namun, merupakan strategi dalam perang asimetris. Terorisme menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 pasal 1 ayat (2) adalah

“perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, Iingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.”

Terorisme menggunakan ancaman dan kekerasan sebagai bentuk dalam mencapai tujuan politik, agama atau ideologis yang lebih substansial. Sasaran dari serangan terorisme sama luasnya dengan seluruh permukaan bumi. Biasanya, korban dari serangan terorisme bukan merupakan target utama, teroris melakukan aksinya untuk menyampaikan sebuah pesan.

Seiring dengan berjalannya waktu, serangan terorisme memiliki banyak strategi, taktik, dan senjata yang digunakan. Dalam melakukan serangannya, para teroris memiliki strategi, taktik, dan senjata yang berbeda-beda. Perbedaan ini digunakan untuk menarik perhatian musuh dan dunia internasional. Hal ini dikarenakan, tujuan dalam terorisme adalah untuk menebarkan teror dan mendapatkan pengakuan internasional. Sifat dan perilaku gerakan terorisme juga dapat berubah dengan sangat cepat, dari mulai aksi yang terbuka menjadi aksi yang bersifat tidak terlihat, nonaktif dan regeneratif.

Pada era saat ini, strategi, dan taktik yang digunakan pada serangan terorisme telah mengalami perubahan. Senjata yang digunakan juga sudah menjadi semakin berkembang dan mulai memanfaatkan kecanggihan teknologi dan ilmu pengetahuan modern. Terorisme saat ini mulai beralih menggunakan senjata pemusnah massal seperti senjata kimia, senjata biologi, senjata bom radioaktif dan senjatar nuklir (KBRN), dengan menggunakan senjata pemusnah massal, dampak yang dihasilkan lebih besar serta memiliki biaya yang lebih murah dibandingkan dengan senjata konvensional.

2. Landasan Teori

A. Teori Strategi

Strategi secara etimologi,  berasal dari bahasa Yunani klasik yaitu “stratos” yang artinya tentara dan kata “agein” yang berarti memimpin. Strategi dapat dipahami sebagai sebuah seni atau perencanaan yang dilakukan untuk mencapai sebuah tujuan (Mifflin, 2000). Menurut Josoef (2014) Strategi digambarkan sebagai keseluruhan operasi baik secara intelektual maupun fisik yang dilaksanakan untuk menanggapi, menyiapkan, dan mengendalikan kegiatan kolektif demi mencapai sebuah tujuan (p.5).

Karl Von Clausewitz (1780-1831) dalam bukunya “On War” merumuskan strategi adalah suatu seni menggunakan suatu pertempuran untuk mencapai tujuan perang. Strategi merupakan cara tentang mencapai kemenangan yang dikhususkan untuk menemukan sumber daya yang dimiliki bangsa berupa manusia dan material, sehingga dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk memaksimalkan total efektifitas bangsa di dalam perang tersebut.

B. Strategi Terorisme

Terorisme memiliki strategi yang berbeda-beda dalam mencapai tujuan yang mereka miliki. Strategi tersebut sangat mungkin untuk berubah-ubah seiring dengan berjalannya waktu sesuai dengan tujuannya. Menurut Lutz (2013), terdapat lima strategi dasar yang menjadi pola oganisasi teroris untuk melakukan aksi teror, antara lain:

  • Attrition (Pengurangan atau Gesekan)

Attrition atau strategi gesekan atau strategi pengurangan adalah strategi yang digunakan untuk melemahkan pemerintah (musuh) dan meyakinkan pada pemimpin politik untuk mengubah kebijakan negara ke arah yang dikehendaki oleh organisasi teroris. Target dari strategi ini difokuskan pada ekonomi sebagai cara untuk melemahkan pemerintah. Serangan teror yang dilakukan bertujuan untuk menimbulkan kerusakan, sehingga pemerintah lebih memilih mengubah kebijakan daripada membiayai kerusakan-kerusakan yang telah diciptakan oleh kelompok teroris. Dengan strategi ini, terorisme lebih berhasil untuk menghancurkan kekuatan pemerintah daripada mengambil alih kekuasaan.

  • Intimidation (Intimidasi)

Strategi intimidasi merupakan strategi yang diarahkan untuk menyerang publik sebagai rakyat. Tujuan utama dari Strategi ini adalah untuk melemahkan dukungan publik kepada pemerintah dengan meyakinkan publik bahwa pemerintahan negara tersebut lemah, serta tidak dapat memberikan perlindungan bari masyarakat. Serangan teror dengan menggunakan strategi intimidasi, jika berhasil dapat merusak otoritas dan legitimasi pemerintah dan memungkinkan adanya perubahan pada sistem politik atau batas-batas politik.

  • Provocation (Provokasi)

Strategi provokasi adalah pendekatan strategis yang dimaksudkan untuk mendesak pihak berwenang. Strategi ini memiliki tujuan untuk membujuk pemerintah (musuh) untuk menanggapi terorisme dengan kekerasan. Pada strategi ini kelompok teroris berusaha mendorong pemerintah atau personel keamanan untuk melakukan tindakan dengan menangkap dan menahan anggota kelompok agama, etnis, ekonomi, atau ideologis, atau dengan membatasi kebebasan sipil untuk masyarakat secara keseluruhan.

  • Spoiling (Memanjakan)

Strategi spoiling dimaksudkan untuk memperkuat organisasi teroris serta untuk menghindari situasi negatif. Strategi ini bertujuan untuk mencegah agar tidak terjadi gencatan senjata. Kelompok teroris menjalankan strategi ini dengan meyakinkan musuh bahwa yang tidak berpihak pada teroris merupakan kelompok yang lemah, sehingga teroris dapat merusak upaya untuk mencapai penyelesaian damai.

  • Outbidding (Mengalahkan/kalah bersaing)

Strategi outbidding adalah upaya yang dilakukan oleh kelompok teroris untuk bersaing mendapatkan dukungan dari masyarakat yang tidak puas dengan pemerintahan saat ini. Strategi ini dijalankan dengan menggunakan kekerasan untuk meyakinkan publik bahwa teroris memiliki tekad yang besar untuk melawan pemerintah atau musuh, daripada kelompok pemberontak lain yang bukan merupakan kelompok teroris, Sehingga kelompok teroris merasa layak untuk mendapat dukungan dan mendapatkan akses dari sumber daya yang dibutuhkan.

3. Konsep Bioterrorism

Bioterorisme diterjemahkan sebagai kegiatan teror yang disengaja dengan menggunakan kuman patogen atau toksin dengan tujuan untuk membunuh atau menimbulkan kerugian pada individu maupun populasi (manusia, hewan dan tanaman) yang berdampak terhadap kondisi politik, ekonomi, sosial, dan budaya (Samihardjo, 2007). Bioterorisme merupakan suatu tindakan penyerangan dengan menggunakan biological agent seperti virus, bakteri dan racun yang digunakan sebagai senjata untuk agenda pribadi atau politik lebih lanjut untuk menyebabkan kematian pada manusia, hewan, tanaman atau tanaman (Das dan Kataria. 2011, p. 320).

Bioterorisme dapat diartikan sebagai penggunaan mikroba sebagai alat terorisme. Perang yang melibatkan senjata biologis / mikroba disebut perang biologis (Nester et al., 2009). Dampak dari serangan bioterorisme berbeda dengan senjata lain yang biasanya diikuti dengan ledakan, kebakaran dan kerusakan, akan tetapi bioterorisme tidak memiliki dampak atau tanda-tanda tersebut. Bioterorisme dapat membunuh manusia secara langsung, membunuh secara perlahan, dan secara sistematis akan mengubah jalan hidup manusia.

4. Pembahasan

Senjata biologi dikatakan sebagai senjata pemusnah massal dikarenakan senjata biologi tidak dapat dilihat dengan kasat mata dan memilki efek yang tidak langsung. Jalur penyebaran senjata biologi dapat melalui udara, air, maupun makanan, karena media air, udara, maupun makanan merupakan media yang dapat mempercepat penyebaran agen bilogi tersebut. Aksi teror dengan menggunakan senjata biologi tidak memiliki dampak yang besar secara langsung, namun, perlahan-lahan dampak dari senjata biologi melebihi dampak dari senjata pemusnah massal lainnya. Bioterorisme dapat menciptakan rasa ketakutan dan kepanikan, dikarenakan senjata biologi tidak hanya dapat menimbulkan penyakit namun juga kecacatan dan kematian hingga dapat berdampak pada sumber daya ekonomi dan mengganggu stabilitas kawasan.

Taktik serangan teror dengan menggunakan senjata biologi sudah sejak lama digunakan melalui cara-cara yang sederhana yaitu dengan mengotori atau meracuni sumber mata air, menyebarkan penyakit, ekspor hewan ternak yang telah disuntikkan kuman, dan lain sebagainya. Aksi-aksi penggunaan senjata biologi antara lain, pada Perang Dunia II, Jerman dan Perancis menggunakan Glander dan Antraks dalam melakukan penyerangan terhadap musuh, Inggris membagikan selimut dari pasien cacar kepada penduduk asli Amerika tahun 1973, Pasukan Rusia  menaruh jasad korban penyakit maenular ke kota-kota di Swedia tahun 1763 (Riedel, 2019). Selain negara – negara tersebut, Jepang juga melakukan ekserimen pengembangan senjata biologi menggunakan wabah, Antraks dan penyakit lainnya. Pada 18 Maret 1995, terjadi penyerangan yang dilakukan Aum Shinrikyo pada sistem kereta bawah tanah di Tokyo dengan menggunakan gas sarin, yang sebelumnya terlebih dahulu melakukan serangan dengan menggunakan Antraks dan toksin Botulinum (Riedel, 2019).

Aksi bioterorisme sudah pernah terjadi dibeberapa negara seperti yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2001, secara sengaja suatu agen biologis yang berupa Antraks dikirimkan oleh perusahaan pos Amerika kepada para senator dan anggota media. Serangan tersebut menimbulkan kepanikan karena sebelumnya pernah terjadi kasus Antraks di Amerika Serikat pada tahun 1955-1999. Antraks merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis, Antraks memiliki spora yang sangat kuat dan dapat menular dengan cepat. Antraks tidak hanya menyebabkan luka kulit namun juga dapat menyerang anggota tubuh lain hingga menyebabkan kematian.

Kasus teror yang sama juga pernah terjadi di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra pada bulan juni 2005 dan Kedutaan Perancis di Jakarta pada bulan April 2012, terdapat kiriman sebuah amplop yang didalamnya berisi bubuk spora yang diduga mengandung Antraks. Walaupun setelah diteliti lebih lanjut, bubuk tersebut hanya merupakan sebuah bubuk putih biasa, namun serangan tersebut telah menyebabkan kepanikan (Agustiono, 2012, p.34).

Negara Indonesia juga tidak terhindar dari ancaman bioterorisme, pada Oktober 2019, Densus 88 Anti Terror berhasil menangkap terduga teroris di Cirebon yang telah menyiapkan bahan peledak yang berisikan racun Abrin yang memiliki daya bunuh mencapai 100 orang. Di dalam bahan peledak tersebut ditemukan bahan racun Abrin yang berasal dari 310 gram biji tanaman saga. Terduga teroris tersebut memiliki buku ajaran dasar tentang mikrologi dan kimia, yang diduga menjadi panduan dalam merakit bahan peledak tersebut (CNN Indonesia, 2019).

Wabah penyakit Flu Burung di Indonesia yang disebabkan oleh Virus H5N1 pada unggas yang pertama kali dilaporkan pada tahun 2003 dan kasus Flu Burung pada manusia pada tahun 2005, juga dapat diindikasikan sebagai ancaman bioterorisme. Penyebaran wabah penyakit Flu Burung sangat cepat dan merupakan penyakit yang mematikan dnegan kasus kematian akibat Flu Burung di Indonesia yang menduduki peringkat tertinggi di dunia, sehingga kasus tersebut membuat masyarakat Indonesia resah. Menurut Menteri Kesehatan pada tahun 2010-2014, Siti Fadilah Supari (2008) menyatakan bahwa penyebaran penyakit seperti Flu Burung, Flu Babi, dan lainnya sampai saat ini tidak cocok dengan kaidah-kaidah epidemiologi (p.151) karena pada dasarnya penyakit menular memiliki karakteristik epidemiologi.

Kelompok organisasi teroris memiliki beberapa strategi dan taktik dalam menjalankan serangannya. Teroris memiliki lima strategi seperti yang telah disebutkan pada landasan teori. Dalam kasus serangan bioterorisme, teroris menggunakan strategi intimidation atau intimidasi, karena serangan teror lebih diarahkan untuk menyerang publik sebagai rakyat. Kelompok teroris menyebarkan kepanikan dengan menciptakan wabah penyakit dan racun yang dapat mersahkan masyarakat luas. Dengan adanya wabah penyakit atau racun yang muncul secara tiba-tiba dan menyebar dengan sangat luas, maka Pemerintah tidak siap menanganinya, sehingga dapat melemahkan dukungan masyarakat kepada pemerintah, karena pemerintah dianggap tidak bisa memberikan perlindungan bagi masyarakat.

Bioterorisme juga dapat dikategorikan sebagai strategi attrition atau strategi gesekan. Strategi ini digunakan untuk melemahkan pemerintah (musuh) dan meyakinkan pada pemimpin politik untuk mengubah kebijakan negara ke arah yang dikehendaki oleh organisasi teroris. Target dari strategi ini difokuskan pada ekonomi sebagai cara untuk melemahkan pemerintah. Melihat dampak dari senjata biologi yang sangat besar dan memiliki domino efek yang besar, bioterorsime dapat juga digunakan untuk menyerang ekonomi musuh. Karena bioterorisme tidak hanya berdampak pada manusia, namun juga hewan dan tumbuhan yang berdampak pada ketahanan pangan serta dapat mempengaruhi kondisi ekonomi suatu negara. Dengan serangan ini maka, terorisme dapat berhasil untuk menghancurkan kekuatan pemerintah daripada mengambil alih kekuasaan.

Taktik dan senjata yang digunakan dalam aksi bioterorisme adalah dengan penggunaan senjata pemusnah massal, dalam hal ini yaitu menggunakan senjata biologi yang memiliki potensi sebagai salah satu senjata pemusnah paling berbahaya di dunia. Senjata biologi memiliki banyak keuntungan dibandingkan dengan senjata pemusnah massal lainnya, karena biaya yang dikeluarkan relatif murah, agen biologi dapat diperoleh dengan mudah, sulit terdeteksi tidak seperti senjata kimia yang mudah terdeteksi dari baunya, dan jika semakin lama dibiarkan jumlah agen biologi semakin bertambah dan dampaknya juga semakin berbahaya. Dampak dari bioterorisme tidak hanya dapat menyerang fisik namun juga psikologis korban.

5. Kesimpulan

Serangan terorisme pada era globalisasi ini banyak mengalami perubahan baik dari strategi, taktik maupun senjata yang digunakan. Terorisme saat ini sudah menggunakan strategi dan taktik yang jauh berbeda dengan sebelum-belumnya, seperti saat ini serangan tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki namun juga perempuan dan anak-anak. Saat ini, strategi dan taktik yang dipilih memiliki dampak yang semakin besar dan berbahaya. Senjata yang digunakan juga sudah banyak mengalami perkembangan seiring dengan adanya perkembangan teknologi.

Strategi yang digunakan kelompok teroris sudah tidak lagi dijalankan dengan menggunakan senjata konvensional dan lebih memilih menggunakan senjata pemusnah massal yang memiliki dampak yang lebih besar dari sebelumnya. Namun, tidak sedikit juga teroris yang menggabungkan senjata peledak seperti bom dengan senjata pemusnah massal seperti nuklir, bahan kimia, hingga agen biologi seperti bakteri, racun dari tumbuhan, virus, dan lain sebagainya. Bioterorisme menjadi strategi, taktik dan senjata baru yang digunakan oleh teroris. Bioterorisme tidak hanya dapat dikategorikan sebagai strategi intimidasi dan attrition saja, namun dapat dikatakan sebagai strategi baru, karena strategi bioterorisme dilakukan dengan upaya yang lebih kejam, dan menimbulkan dampak yang lebih besar dan domino efek yang luas daripada senjata konvensional maupun senjata pemusnah massal lainnya.

Referensi

  1. Agustiono, Emil (2012). Laporan Upaya Penguatan Koordinasi Pengendalian Zoonosis yang diamanatkan Presiden melalui Perpres 30 tahun 2011 tentang Pengendalian Zoonosis. Jakarta: Komnas Pengendalian Zoonosis Deputi III Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat
  2. CNN Indonesia (2019). “Polri Bom Pengantin di Cirebon Berdaya Bunuh 100 orang”. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191015184405-12-439754/polri-bom-pengantin-di-cirebon-berdaya-bunuh-100-orang
  3. Clausewitz, Carl von. (1984). On War. (Terj. dari Vom Kriege.Princeton University Press. Michael Howard dan Peter Paret). New York: Oxford University Press.
  4. Daoed Joesoef. (2014). Studi Strategi: Logika Ketahanan Nasional dan Pembangunan Nasional. Jakarta: Gramedia Kompas
  5. Das, S dan Kataria, VK. (2010). “Bioterrorism : A Public Health Perspective”, National Center for Biotechnology Information,S. National Library of Medicine, vol. 66, no. 3, p. 320.
  6. Davis, Jim A. and Barry R. Schneider. (2004). The gathering biological warfare storm. Los Angeles: Praege.
  7. Hadisaputro, Suharyo. (1990). Antraks Pada Manusia 1990. Semarang: Universitas Diponegoro
  8. Houghton Mifflin Company. (2000). The American Heritage Dictionary of the English Language. New York: Houghton Mifflin Company
  9. James M. Lutz, Brenda J. Lutz. (2013). Global Terrorism. London and New York: Routledeg
  10. Klotz, Lynn C and Edward J. Sylvester. (2009). Breeding Bio Insecurity. London: The University of Chicago Press
  11. Malcom, Dando. (2006). Bioterror and Biowarfare. England: Oneworld Publications
  12. Nester, E. W., Anderson, D. G., Roberts, C. E., & Nester, M. T. (2009). Microbiology A Human Perspective (6th Edition ed.). New York: McGraw-Hill
  13. Neumann, Peter R. (2010). Old and New Terrorist. USA: Polity Pres
  14. Riedel, Stefan. (2004). “Biological warfare and bioterrorism: a historical review. Baylor University Medical Center Proceedings, S. National Library of Medicine, vol. 17, no. 4, pp. 400-406
  15. Samihardjo, I. (2007). “Faktor Intention dalam Kontra Proliferasi Nubika”. Jurnal Intelijen dan Kontra Intelijen 3 p. 90
  16. Supari, Siti Fadilah. (2008). Saatnya Dunia Berubah: Tangan tuhan Dibalik Flu Burung. Jakarta: Sulaksana Watinsa Indonesia
  17. Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018 pasal 1 ayat (2) tentang Terorisme

 

Sumber Artikel ***lembagakeris.net***